Minggu, 11 Februari 2018

Orific

Desingan peluru menembus udara, suaranya nyaring namun cepat. Songsongan peluri berjatuhan menciptakan bunyi gemerincing di tanah. Pelatuk ditarik teriakan perih berkumandang. Awan mendung menutupi langit pertanda hujan akan segera datang.

Mesin raksasa memasuki arena menambah bising dengan nyaringnya bunyi meriam. Roda rantainya menginjak-injak tubuh tanpa ruh. Kawan atau lawan sudah tak penting jika sang empunya sudah diangkat Tuhan.

"Dimana bala bantuan kita?!" hardik sang Sersan tak sabaran.

"Mereka tengah dalam perjalanan, Sersan!"

Sersan itu mengetuk-ngetuk senapannya tak sabaran. Jangankan kemenangan, keselamatan pun tampak tak mungkin lagi. Sejak tank itu memasuki medan perang dan membombardir wilayah garis depan mereka, perbedaan kekuatan mulai terlihat sangat kentara. Kubu Timur sudah dipastikan akan kalah.

Sebuah jet tempur meluncur membelah langit menjatuhkan rudalnya pada tank berbahan baja itu. Tak lama suara ledakan menggema. Mesin itu kini bersisa bongkahan baja tak berbentuk.

"Mereka datang!"

Sekelompok prajurit dengan persenjataan lengkap dan seragam loreng abu-abu tua masuk, berjajar di garis depan. Pada lengan bajunya logo AR tertampang. Wanita ber-make-up tebal berdiri di tengah.

"Tembak!" serunya. Hujan peluru pun ditembakkan. Satu persatu musuh tumbang bak mainan anak kecil. Domino.

***

Brak!

“Apa maksudmu datang terlambat?! Mau kami kalah?!” bentak pria paruh baya dengan kumis tebal. Wanita itu hanya bersender di daun jendela, menyilangkan kedua tangan dan melihat ke area yang sebelumnya merupakan medan pertempuran.

Merasa di abaikan, pria yang kelihatannya menjabat sebagai kolonel itu mendekat dengan muka merah dan mata membesar, terlihat hampir keluar. Sebelum pria itu melakukan apapun, wanita itu mencekiknya dan mengangkatnya.

“Mau kau kolonel, mayjen, ataupun jendral sekalipun, aku tak peduli. Pangkatmu tidak berpengaruh terhadap aku dan pasukanku. Aku tidak takut padamu, atau orang-orangmu. Kehilanganmu adalah tanda kelemahanmu,” tutur wanita itu. Ia pun melepaskan cengkramannya, keluar meninggalkan kolonel itu yang terbatuk-batuk.

Wanita itu menghela napas. “Aku tahu kau disana, Michelia.”

Yang dipanggil perlahan-lahan keluar dari persembunyiannya di balik tembok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pindah

AKIKO PINDAH LAPAK WWWW Jadi ke wordpress kkkk Linknya disini yak UwU Tapi beberapa rant masih tetep disini, kkkk Kenapa pindah? Ka...