Suara yang menyapa telingaku membuyarkan lamunanku. Astaga,
aku terlalu banyak memerhatikannya!
"Ah, iya, ayo," ujarku. Aku membawanya ke rak-rak
minuman, dan menunjukkan cara menatanya. Untungnya dia cepat tanggap sehingga
tidak usah kujelaskan panjang lebar.
Aku kemudian mengajaknya keliling gudang, mengenali
letak-letak persediaan disana. Sepanjang perjalanan di gudang, hatiku berdegup
tak karuan.
Tuhan, hentikanlah kegugupanku. Bagaimana kalau dia
merasakannya?
Tidak dapat kubayangkan seberapa jijiknya dia padaku jika ia
mengetahuinya sekarang. Kami baru berkenalan dan aku tidak yakin apa orang ini
percaya pada cinta pandangan pertama atau tidak. Dia belum tentu sama seperti
Kiyomitsu, yang menerima cinta Yasusada dengan hati terbuka. Kurasa aku dan
Izuminokami adalah kemustahilan dalam waktu dekat.
Ya, awalnya aku penasaran juga gara-gara melihat benang
merah itu.
Sialan, beberapa menit yang lalu aku yakin perasaanku bukan
karena benang ini. Kini aku meragukannya lagi. Aku ini kenapa?!
"Horikawa, kau banyak melamun ya hari ini," ujar
Mutsunokami-senpai mengagetkanku. "Ada apa?"
"Tidak, hanya saja ...," aku menahan kalimatku
sejenak, memikirkan apa yang harus kukatakan, "kurasa aku banyak pikiran
soal keadaan rumah, itu saja," jelasku akhirnya.
"Jangan terlalu banyak dipikirkan," ujar
Mutsunokami-senpai menepuk pundakku.
Yasusada tiba-tiba mendekati kami. "Mutsunokami-senpai,
waktunya gantian," ujarnya. "Shift-mu pagi ini sudah selesai,
kan?"
"Ah, ya." Mutsunokami-senpai keluar dari area
kasir, digantikan oleh Yasusada. Kulihat Mutsunokami-senpai menghampiri
Izuminokami. "Izuminokami, aku duluan. Kalau ada apa-apa tanya saja pada
Horikawa atau Yamatonokami," ujarnya. Izuminokami mengangguk dan
Mutsunokami-senpai pun masuk gudang menuju ruang ganti karyawan.
"Horikawa-senpai," panggil Yasusada. Aku
menggumam. "Kalau Izuminokami dan Mutsunokami-senpai teman sepermainan
dari kecil, dia pasti akan jadi sainganmu," lanjutnya.
"Apaan sih?"
"Aku serius."
Aku menatap orang yang sudah seperti saudaraku sendiri. Air
mukanya menunjukkan keseriusan, sebagai seorang yang sudah berpengalaman dalam
hubungan asmara.
"Horikawa-senpai, jika kau benar mencintai Izuminokami,
kau harus bisa mendapatkannya. Jika tebakanku benar, kemungkinan besar
Mutsunokami-senpai lah yang akan menggaetnya terlebih dahulu," tutur
Yasusada.
"Kenapa kau berpikiran Mutsunokami-senpai akan jadi
sainganku?" tanyaku. Dia menyeringai.
"Gerak-gerik Mutsunokami-senpai, dan fakta kalau mereka
sudah kenal dekat," jawabnya. "Makanya jika kau memang benar-benar
menyukainya, gaet dia terlebih dahulu!"
Aku terdiam, kemudian menatap jari kelingkingku dan
Izuminokami bergantian. Yah, orang tuaku saja bisa menikah dengan bukan jodoh,
benang ini bukan patok hubungan asmara dan pernikahan.
Yasusada benar.
Aku tidak bisa berdiam diri.
"Kurasa kau sudah mengerti," ujar Yasusada
tersenyum, dan menepuk punggungku. "Sana, PDKT. Semoga langgeng ya!"
ucapnya pelan. Aku hanya tertawa runyam kemudian mendekati Izuminokami.
"Mau kubantu?" Aku menawarkan diri. Wajahnya
berseri lalu mengangguk.
Lucu.
Aku menata rak bersamanya. Memang biasa, namun jarak kami
yang dekat cukup membuat jantungku menjadi tidak karuan lagi. Aku melirik
Yasusada dan dia mengedip padaku.
Ah, semoga mukaku tidak merah.
***
"Otsukaresama!" seru Izuminokami di ruang ganti.
Aku terkekeh.
"Kau mengatakannya seakan kau terbebas dari pekerjaan
ini. Ingat kau masih ada shift besok," ujar Yasusada sembari duduk dan
meneguk kopi.
"Aku tahu, senpai, aku tahu," ujar Izuminokami
enteng.
Aku memasukkan barang-barangku ke dalam tas dan
menggendongnya. "Hari ini shiftmu sampai malam kan, Yasusada? Nanti
Mutsunokami-senpai akan kesini juga," ujarku.
"Kau tidak perlu mengatakannya, sudah terpampang jelas
di papan jadwal karyawan," ujar Yasusada menunjuk papan yang dimaksud.
"Maaf tidak bisa pulang bareng."
"Sejak kap--,"
"Bagaimana kalau Izuminokami yang menemanimu,
senpai?" Yasusada memotongku. Ia menatapku sambil tersenyum.
"Izuminokami, dimana rumahmu?"
"Hah? Jalan xy nomor z."
"Sempurna, searah dengan Horikawa-senpai," kata
Yasusada. "Ayo, pulanglah. Horikawa-senpai, kau harus memasak makan malam
adik-adikmu kan?"
"Ah, iya, benar," ucapku.
"Pergilah, aku baik-baik saja," kata Yasusada,
diam-diam mengacungkan jempol padaku. Aku membungkuk padanya.
"Kalau begitu kami duluan," ujar Izuminokami. Kami
berdua pun keluar dari ruang ganti karyawan, dan keluar dari minimarket.
Sepanjang perjalanan sungguh hening. Aku tidak tahu mau
bicara apa saking gugupnya. Aku hanya memegang erat tali tasku, berusaha tidak
menatap benang merahku maupun orang di sebelahku.
"Kau, punya adik ya, senpai?" tanya Izuminokami
tiba-tiba. Aku tersentak namun akhirnya menatapnya.
"Ya, dua orang," jawabku. "Bagaimana
denganmu?" Aku balik bertanya padanya.
"Aku hanya punya kakak, dia sarjana humaniora,"
jawabnya. "Dia menyukai seni dan sastra sejak kecil, dan ayah kami pun
mendukungnya," tuturnya. "Aku sendiri mengikuti ayahku, masuk jurusan
hukum."
'Dia luar biasa' batinku. Kurasa dia sangat mengagumi
ayahnya.
"Apa senpai kuliah?" tanya Izuminokami lagi. Aku
menggeleng.
"Aku harus menghidupi adik-adikku dulu. Akan lebih
sulit menyuapi dua mulut sambil kuliah, jadi kuputuskan untuk bekerja
dulu," jawabku.
"Memang kemana orang tuamu?!" serunya, tiba-tiba
berhenti.
Aku ikut berhenti, berada sedikit lebih depan dari
posisinya. "Mereka ... bercerai. Mereka hanya membiayai sekolah
adik-adikku sampai SMA saja." Aku menunduk.
"Um ... maaf," ujarnya.
"Tidak apa-apa."
Keheningan kembali menyelimuti. Ayolah Horikawa Kunihiro,
cari suatu topik! Keadaan ini runyam sekali!
"Um ... kau mau berkunjung ke rumahku?" tawarku
kemudian. Aku mengangkat wajahku, menatap lawan bicaraku.
"Tentu."
Kami kembali berjalan dalam kesunyian. Ah, aku tidak suka
ini ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar