Hari libur adalah hari yang tepat untuk menemuinya, itu yang
aku pikirkan. Sayangnya, aku punya shift di hari ini, dan aku tidak bisa keluar
kecuali shiftku selesai.
Lagipula kalau dipikir lagi, sulit juga menemukan seseorang
tanpa petunjuk pasti.
Ya, aku bisa melihat benang merah. Tapi bukan berarti aku
dapat menembus tembok supaya bisa mengikuti benang itu. Kalau saja benang itu
seperti benang pada umumnya, akan lebih mudah.
Benang ini, terbang saja acak-acakan. Kalau dekat jodoh
benang ini baru mau terbang lurus.
Dasar benang aneh.
Aku memasuki minimarket tempatku bekerja, berganti pakaian
dengan seragam lalu menyiapkan kasir.
"Oh, Horikawa, kau datang pagi hari ini!" ujar
Mutsunokami-senpai memasuki minimarket.
"Bukankah biasanya begitu, senpai? Kau saja yang tidak
pernah lihat karena kau kuliah," ujarku. Mutsunokami-senpai mengeluarkan
tawa khasnya.
"Benar juga ya!"
Aku tersenyum padanya. Mutsunokami Yoshiyuki, seorang
mahasiswa yang bekerja sambilan disini, dan sudah bekerja lebih lama dariku.
Aku kembali iseng, melihat ke jemari Mutsunokami-senpai.
Sejauh ini, benangnyalah yang paling aneh.
Tipis sekali, seperti sudah putus. Arahnya entah kemana.
Malah lebih kelihatan seperti hanya menggunakan cincin merah di jari
kelingking. Talinya yang tipis itu terus menipis hingga tidak kelihatan lagi.
Putus? Tidak? Aku tidak tahu. Kuharap jodohnya ada. Kalau
boleh jujur, aku merasa kasihan kalau dia yang ceria ini tidak dapat jodoh.
"Ah, ya, Horikawa. Temanku katanya ingin bekerja
disini, nanti tolong bantu dia ya. Perintah atasan," ujar Mutsunokami. Aku
hanya mengangguk.
Dan seperti biasa aku menyambut pelanggan.
"Selamat datang! Selamat berbelanja!"
***
Bunyi pintu minimarket terbuka, membuatku mengalihkan
pandangan dari kegiatan beres-beresku. Begitu aku hendak mengucapkan kalimat
biasa, aku terhenti, tidak bergeming melihat sosok di ambang pintu.
Jodohku.
"Oh, Izuminokami! Kau sudah datang!" seru
Mutsunokami yang sedang menata ulang rak promosi.
"Ya, aku sudah bicara pada bosnya."
Tunggu.
Tunggu tunggu tunggu. Tunggu! Jadi maksud Mutsunokami-senpai
...
Orang ini ... temannya yang hendak bekerja disini!?
Oh tuhan, terimakasih kau sudah mengabulkan do'aku.
"Hey, kasir tukang melamun," sapanya melihatku
sambil memasang cengiran.
Oh astaga, dia mengingatku.
Dengan cara yang buruk.
"Um ... hai juga?" Aku mencoba menyapanya
biasa-biasa, supaya ia tidak curiga apapun.
"Dimana ruang ganti karyawan, kalau boleh tahu?"
tanyanya.
Aku menunjuk bagian belakang minimarket. "Mau
kuantar?"
Apa yang aku ucapkan!?
"Ya boleh."
Dia menerimanya!
Yah lagipula, untuk ruang ganti karyawan ada dibalik gudang.
Bisa-bisa dia tersesat kalau tidak ada yang mengantar.
Mutsunokami-senpai menggantikan posisiku di kasir, dan aku
menunjukkan jalannya pada orang itu. Izuminokami, seperti yang disebut oleh
Mutsunokami-senpai, itu adalah namanya.
Aku dapatkan namanya.
Bagi orang lain mungkin itu hal biasa. Tapi rasanya luar
biasa kalau kau pertama bertemu sebagai kasir dan pembeli. Jarang-jarang kasir
dan pembeli saling tahu nama. Sekalipun tahu tidak akan diingat.
Kami memasuki ruang ganti karyawan. Disana, Yasusada sedang
berganti baju.
"Ah, Horikawa-senpai!" sapanya. Aku hanya
melambaikan tangan.
"Itu Yamatonokami Yasusada, salah satu karyawan
juga," ujarku mengenalkan Izuminokami pada Yasusada.
"Yo." Izuminokami mengangkat tangannya.
"Namaku Izuminokami Kanesada."
Izuminokami Kanesada .... Bagaimana ya kalau aku memanggil
dengan nama depannya? Kanesada? Tidak .... Kane-san? Ah kurasa itu cocok.
"Horikawa-senpai, kenapa kau senyum-senyum
sendiri?" tanya Yasusada. Lamunanku buyar dan aku menggeleng.
"Kalau begitu aku akan berganti baju." Izuminokami
mengambil salah satu seragam di loker kosong.
Yasusada menghampiriku dan menyikutku. "Hei, senpai,
kau suka ya padanya?" tanya Yasusada berbisik. Otomatis aku tersipu.
"Jangan sembarangan," bisikku.
"Terus kalau tidak kenapa kau tersipu?" tanya
Yasusada lagi sembari menyeringai. "Kalau senpai butuh saran cinta,
panggil saja aku. Begini-begini pun, aku langgeng dengan Kiyomitsu 3
tahun," ujarnya menyikutku lagi. Aku mengalihkan pandanganku, berharap
mukaku tidak begitu merah.
Aku menepuk wajahku pelan, berharap darahku tidak berkumpul
di daerah mukaku lagi. Ini memalukan, sungguh.
"Jadi, uh ...."
"Horikawa, Horikawa Kunihiro." Aku menyebutkan
namaku.
"Ya ... Horikawa-senpai. Apa yang harus kulakukan
pertama kali?" tanyanya. Aku berpikir sejenak.
"Kurasa kau bisa mulai dengan menata rak. Itu pekerjaan
mudah," ujar Yasusada tiba-tiba angkat suara.
"Ya, kurasa itu sempurna," ucapku.
Aku membawa Izuminokami kembali ke gudang. Aku
menunjukkannya satu kotak berisi minuman.
"Sepertinya rak minuman sudah kosong. Bagaimana kalau
kau mengisinya?" ujarku. Dia mengangguk lalu mengambil box itu.
Lekuk tubuhnya, irisnya, surainya. Seluruh fisiknya
sempurna. Dia sungguh memikat hati. Ya, rasa sukaku ini bukan hanya sekedar
rasa suka karena melihat benang kami.
Jika aku tidak bisa melihat benang ini pun, aku akan tetap
jatuh cinta padanya.
Jadi, inikah love at the first sight?
Aku menatap benang pada jari kelingkingku yang berujung oada
kelingkingnya. Cahaya merah terang redup mengikuti detak jantungku.
Apa dia dapat merasakan detak jantungku?
Aku tidak tahu.
"Horikawa-senpai, kau melamun lagi."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar