Benang merah ...
Benang yang mengikatmu dengan jodohmu. Benang tidak terlihat
yang mengikat takdir.
Namun ...,
Aku bisa melihatnya.
Sudah sejak kecil, aku terus melihat benang merah
beterbangan dimana-mana. Bentuknya tipis, namun kuat. Benang itu sebenarnya
tidak terlihat seperti benang, lebih seperti tali yang bisa melar dan melawan
gravitasi.
Aku pernah melihat, benang merah orang tuaku tidak menyatu.
Itu menjadikan mereka akhirnya bercerai, dan meninggalkan aku dan adik-adikku
mengurus diri kami sendiri saat aku lulus SMA. Untungnya mereka berjanji akan
membiayai sekolah kedua adikku sampai lulus SMA.
Tapi aku sering berpikir, jika mereka tidak di takdirkan
bersama, mengapa mereka menikah pada awalnya, hingga menghasilkan tiga anak?
Aku tidak tahu.
Yang terpenting sekarang adalah kelangsungan hidupku dan
adik-adikku.
Aku bekerja di sebuah minimarket dekat rumah. Penghasilan
itu cukup untuk kami makan sehari-hari, bahkan rasanya kebutuhan lain pun
tercukupi. Aku tidak melanjutkan sekolah ke universitas, karena aku tidak bisa
menghidupi kami jika aku kuliah dulu.
Aku mulai melupakan soal benang merah itu, walaupun aku
masih melihatnya beterbangan dimana-mana. Terkadang, aku iseng melihat benang
merah pelanggan, namun aku tidak pernah memandangnya terus menerus.
Kecuali satu.
Aku menemukan pelanggan,
Yang benangnya menyatu dengan benangku.
"Hey, apa kau sudah selesai?" tanyanya,
membuyarkan lamunanku.
"Maaf!"
Sembari memasukkan barang belanjaannya ke kantung plastik,
aku memperhatikannya. Sosok laki-laki tinggi berambut panjang, terlihat cukup
keren.
"Ini belanjaan anda, ada tambahan?" ujarku, dengan
kalimat yang selalu aku ucapkan setiap hari.
"Tidak terimakasih." Ia mengambil kantung
belanjaannya kemudian pergi. Aku terus menatapnya.
Oh, kapan aku bisa bertemu dengannya lagi?
"Horikawa."
"Eh, ada apa, Mutsunokami-senpai?" ucapku saat
senpaiku memanggil.
"Waktunya gantian. Kau lupa ya?" ujarnya, dengan
cengiran khas menempel di wajahnya.
"Maaf," ucapku, lalu membiarkan Mutsunokami-senpai
menggantikanku. Aku pergi ke ruang ganti karyawan dan melepas seragamku,
mengambil tasku lalu pergi hendak menjemput adikku.
***
"Yamanbagiri, apa kau mendapat teman baru?"
tanyaku. Adikku menggeleng.
"Mereka selalu menatapku dengan aneh, aku tidak
suka," ujar Yamanbagiri. Aku tertawa runyam, dan aku pun iseng melihat
benang merah adikku.
Panjang, entah berakhir dimana. Yang pasti, dia tidak akan
menemukan jodohnya dalam sekolahnya sekarang. Dan tentu aku tidak akan
membiarkannya.
Perhatianku teralihkan saat aku melihat sekelebat rambut
hitam lewat di seberang jalan. Rambut panjang dan indah.
Jodohku.
"Apa yang kau lihat, Horikawa-nii?" tanya
Yamanbagiri saat aku berhenti untuk melihat orang itu.
"Ah, tidak, bukan apa-apa," ujarku, lalu kembali berjalan
menuju sekolah Yamabushi, adikku yang satunya.
***
Aku memasak makanan malam untuk kedua adikku dan diriku.
Setelah meletakkan makanan di atas meja, aku kembali melamun.
"Horikawa-niisan?" panggil Yamabushi. Lamunanku
kembali buyar.
"Ah, ada apa, Yamabushi?" tanyaku. Adikku tertawa
dengan tawa khasnya.
"Tidak, aku hanya penasaran kenapa nii-san melamun
terus dari tadi," ujar Yamabushi.
"Tadi juga waktu di jalan, ia memandangi seseorang di
seberang jalan," ujar Yamanbagiri. Aku merasakan wajahku memerah.
"O-ho... Apa kakakku sudah merasakan jatuh cinta?"
tanya Yamabushi.
"Sudahlah, makan saja."
Yamabushi tertawa kecil kemudian mulai melahap makanannya.
Setelah makan, aku memastikan adik-adikku sudah menyiapkan
peralatan sekolah mereka, dan tidak lupa memastikan mereka tidur tepat waktu.
Setelah yakin mereka sudah tidur, aku kembali ke kamarku.
Naik ke atas kasur dan memeluk guling. Rutinitas malamku,
merenung. Namun kali ini berbeda, aku yang biasanya merenung soal takdir kedua
orang tuaku, kini merenungkan orang yang kutemui di minimarket itu.
Posturnya yang tinggi tegap, parasnya yang rupawan, rambut
panjangnya, sesuatu yang tidak bisa lepas dari pikiranku. Aku melirik benang di
jari kelingkingku. Benang itu merambat dan menembus dinding, menuju padanya.
Aku ingin menemuinya.
Kubulatkan tekadku untuk menemuinya, esok hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar