Jumat, 12 Januari 2018

Aura Photography

Yak, jadi Akiko bawa cerita original Akiko waktu masih anggota klub sastra SMP (iya Akiko pindah ekskul dari Japan Club jadi Klub Sastra karena di Japan Club udah gak kondusif lagi). Ini masih abal banget sih, Akiko masih bocah, www.

--- Aura Photography ---

Aku menggeser pintu ruangan klub itu perlahan-lahan. Suara berdecit dari pintu itu dapat terdengar jelas oleh gadis yang berada di dalam.

“Permisi ...,” aku berucap sembari menengok kedalam. Seorang gadis bersurai coklat tua itu menatap kearahku dan mengisyaratkanku untuk masuk. Matanya yang kuning kembali menatap layar kameranya dan tersenyum sendiri.

Namanya adalah Nadison Reil, kakak kelasku. Aku sudah memperhatikannya sejak aku pertama masuk ke sekolah ini, karena dia terlihat selalu sendirian di ruangan ini.

“Um ... perkenalkan kak, aku Loran Ecklowd. Aku ingin mengikuti klub fotografi ini,” ujarku memperkenalkan diri pada kak Reil.

“Selamat datang Loran. Kau punya kamera? Kita akan mulai memotret keadaan sekolah untuk koran sekolah,” ujar kak Reil. Dia berjalan menghampiriku. “By the way, panggil saja aku Nadison, tidak perlu terlalu formal.”

Kami pun mulai berkeliling sekolah mencari kejadian-kejadian yang cocok untuk kami taruh di halaman depan koran sekolah. Kak Nadison memintaku mencari ke depan sekolah, sekitaran gerbang sekolah dimana katanya banyak sekali kejadian menarik disana. Dia menyuruhku begitu karena aku masih pemula. Sedangkan dia akan berkeliling ruang-ruangan di sekolah.

Aku mulai berjalan ke gerbang. Benar kata kak Nadison, mudah sekali mencari kejadian-kejadian unik disini. Aku pun mulai memotret kejadian itu, mulai dari seorang pedagang keliling yang ramai pembeli, hingga seorang murid yang berniat memanjat tembok sekolah.
***
“Kak Nadison, aku sudah mengumpulkan beberapa kejadian,” seruku begitu melihat kak Nadison. Dia terlihat sangat serius, sehingga membuatku penasaran apa yang dia bidik dengan kameranya.

“Kak,” aku menepuk pundaknya. Dia hanya menjawab dengan gumaman singkat. Aku pun menengok ke tempat lensanya mengarah. Kulihat dua orang sedang ber-argumen di ruang musik, keduanya berdebat soal siapa yang akan memainkan satu-satunya piano di sekolah. Seluruh anggota klub musik melihat mereka dan beberapa berbisik-bisik. Kurasakan hawa negatif yang sangat kuat, seakan-akan menarikku untuk menghentikan argumen itu.

Cekrek! Kudengar suara jepretan dari kamera kak Nadison. Flash dari kamera itu menerangi ruang musik, setiap sudut ruangan disinari cahaya yang sangat menyilaukan mata. Setelah cahaya flashnya mulai redup, kulihat kedua anggota klub musik berhenti berdebat. Salah satu dari mereka mengalah kemudian dimulailah lantunan musik klasik yang indah.

“Bagaimana bisa?” ucapku pelan, tidak percaya dengan apa yang kulihat. Kak Nadison pun membenarkan posisinya dan menghadapku.

“Hm? Kau sudah selesai ya? Ayo kita kembali ke ruang klub dan memilah foto-foto untuk dipajang di koran sekolah,” ujar kak Nadison dan mengibaskan rambutnya yang sepanjang bahu. Dia pun berjalan kembali ke arah ruang klub dan akupun mengikutinya.

“Foto apa saja yang kau dapat, Loran?” tanya kak Nadison begitu kami sampai di ruang klub. Dia langsung duduk di depan komputer dan memindahkan beberapa foto di kameranya. Aku duduk di komputer yang terletak di sampingnya dan melakukan hal yang sama dengan kak Nadison.

“Aku mendapati foto siswa yang bersusah payah menaiki tembok sekolah, padahal gerbang sudah dibuka oleh guru penjaga. Selain itu aku juga meliput sedikit tentang pedagang batagor yang laris di depan sekolah,” ujarku dan menunjukkan foto-foto yang telah kupindahkan ke komputer itu.

“Hm, masukkan liputan pedagang itu di headline. Siswa yang memanjat kau simpan di tempat terpencil supaya tidak terlihat,” perintah kak Nadison. Aku pun menurut dan mulai mengerjakan koranku.

Aku sedikit kesusahan mengedit koran pertama yang kubuat di hidupku. Untungnya ada kak Nadison membantuku. Aku jadi membayangkan bagaimana jika nanti kak Nadison lulus, aku akan jadi orang yang mengajarkan jurnalistik dan fotografi pada para juniorku di klub ini.

Aku mengkhayal sembari mengerjakan koranku. Tanganku bergerak bersama dengan mouseku yang sedang mengedit. Tanpa sengaja, kusenggol kamera kak Nadison yang berada di sampingku dan kamera itu pun terjatuh. Kulihat kameranya sudah menjadi kepingan-kepingan, entah kenapa.

“Ah, maaf kak ....” Aku menunduk hendak mengambil kameranya. Seketika aku merasakan aura suram di sekitarku. Aku mendongak melihat ke wajah kak Nadison. Dia terlihat terbelalak melihat kameranya yang sudah hancur itu.

“Oh tidak, ini buruk ... Sangat buruk ...,” ujarnya dan ikut menunduk mengambil kepingan kameranya dan memasukkannya ke wadah kameranya.

“Berapa harga kameranya, kak? Biar aku ganti, jika tidak terlalu mahal,” ujarku. Namun dia bukannya terlihat senang, malah terlihat lebih kaget lagi, kurasa matanya hampir keluar.

“Loran, kau merasa agak suram tidak di sekitar sini?” tanya kak Nadison padaku. Aku mengangguk. Belum sedetik berselang, kak Nadison langsung menarik tanganku ke luar ruangan.

“Mau kemana kak?” Pertanyaanku tidak dijawab oleh kak Nadison. Dia terus menarikku, kurasa ke ruang musik. Lama-kelamaan suasana suram itu semakin besar. Kak Nadison terus menarikku, dan kami sampai di ruang musik. Kulihat kedua anggota klub musik yang tadi memperebutkan piano kembali berebut.

“Kau tahu maksudku?” tanya kak Nadison. Aku menggeleng. Kak Nadison pun bersandar di dinding dan memijat kening.

Beberapa menit berselang kak Nadison kembali menarikku. Samar-samar kudengar suara murid berteriak, berkelahi, membully, dan lain sebagainya. Kami pun sampai di luar sekolah.

“Lihat ke langit,” ujar kak Nadison menunjuk ke atas. Aku mendongak dan kulihat langit sangat berawan, bisa kubilang mendung. Anehnya awan mendung itu hanya ada di atas sekolahku, daerah lainnya tidak ditutupi awan itu. Aku kembali menatap kak Nadison.

“Kau masih belum mengerti?” tanya kak Nadison. Aku mengangguk. “Kau tahu kan tentang 7 dosa pokok?”

Aku kembali mengangguk. “Kesombongan, rasa iri, kerakusan, keserakahan, kemurkaan, kemalasan, dan hawa nafsu kan?” Aku menyebutkan semua 7 dosa pokok yang terkenal itu. Aku pun akhirnya menyadari, bahwa topik di koran sekolah yang sering dibawakan kak Nadison berdasar pada 7 dosa pokok itu. Tapi apa hubungannya?

“Kurasa kau sadar tentang topik yang selalu kubawakan. Dan kau tahu kan tentang kejadian di ruang musik tadi?” ujar kak Nadison. Aku mengangguk lagi.

“Sebenarnya, ah, sudahlah. Lain kali aku beritahu. Sekarang bantu aku memperbaiki kamera ini," ujarnya.

“Tapi bagaimana caranya, kak?” tanyaku begitu kak Nadison membuka wadah kameranya dan mengeluarkan kepingan kameranya. Dia tidak menjawabku dan mengambil dua bagian kamera kecil. Dia menyatukannya dan memutarnya 180 derajat, kemudian bagian itu menempel dengan sendirinya. Dia mulai melakukan hal yang sama pada bagian lainnya.

Aku mengambil dua bagian lain. Aku pun menyatukannya dan memutarnya seperti yang dilakukan kak Nadison. Namun dua bagian itu tidak menyatu seperti bagian kak Nadison.

"Kak, bagaimana caranya?" tanyaku saat kak Nadison sudah menyatukan 5 bagian kecil.

"Hm? Perhatikan bagiannya, yang menurutmu bisa bersatu yang mana," ujarnya dan mengambil bagian ke 6. Aku pun memperhatikan dua bagian di tanganku. Hm, iya juga, kedua bagian ini tidak terlihat serasi. Aku pun menelusuri bagian-bagian kamera itu. Ah, ketemu, aku pun mencoba menyatukan dan memutarnya. Kedua bagian itu pun bersatu seperti tidak terjadi apa-apa.

"Ajaib …." Aku bergumam sembari terkagum kagum melihat bagian yang sudah ku sambungkan.

"Ah, itu bagian lensa. Hati-hati memasangnya," ujar kak Nadison memperhatikanku yang sedang memasang bagian yang ia sebut lensanya.
***
Sudah 2 jam kami memperbaiki kamera itu, namun kamera itu belum selesai juga. Lensa yang aku sambungkan pun kira-kira masih setengahnya. Kak Nadison pun masih belum selesai.

"Kak, ini sudah larut ...," aku berujar pada kak Nadison. Kak Nadison menengok ke arahku.

"Iya, memang kenapa?" tanya kak Nadison. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan kelelahan atau kecemasan.

"Um ... kau tidak pulang, kak?" aku bertanya balik.

"Tidak, tidak apa-apa. Bila perlu aku menginap disini," jawab kak Nadison.

"Ha?" aku bingung dengan jawaban kak Nadison. Memangnya keluarganya tidak akan khawatir?

"Tenanglah, kelurgaku tidak akan mencari atau khawatir. Aku memang biasa 'lembur' jadi tidak apa-apa," kata kak Nadison seperti membaca pikiranku.

"Kalau begitu kak, aku akan minta izin dulu pada orang tuaku," ujarku sembari berdiri untuk mengambil handphone di tasku.

"Ha? Loran, jangan bilang kau akan menginap juga?" tanya kak Nadison sebelum aku sempat beranjak ke ruang klub.

"Iya, aku harus menyelesaikan kamera kakak. Lagipula aku yang menjatuhkannya, aku harus bertanggung jawab, kan?" ujarku sebelum kembali beranjak.

"Baiklah ...," jawab kak Nadison. "Ngomong-ngomong, kalimatmu tadi kurang terdengar jantan."

"Aku tidak berniat untuk bersikap jantan, kak. Aku memang harus bertanggung jawab," ujarku. Kak Nadison menjawab dengan senyuman tulus yang belum pernah kulihat sebelumnya.
***
Aku memasuki ruang klub dan menuju ke tasku. Tapi perhatianku teralihkan pada sebuah buku kecil bersampul hijau yang tergeletak di dekat meja komputer kak Nadison.

"Hm, aneh. Aku tidak melihat ini tadi …," gumamku sambil mengambil buku itu. Aku pun membukanya. Kurasa ini buku jurnal.

Aku membaca lembar pertama, "'Sudah 2 hari sejak kakek memberiku kamera dan buku ini. Memangnya benar ya kamera pemberiannya ini bisa menangkap aura 7 dosa besar?' ... Ha? Apa maksudnya?"

Aku membalik halaman buku itu. Kubaca lagi halaman lainnya.

"'Haah... Kakek, kenapa kau harus meninggalkanku? Aku masih tidak mengerti dengan semua ini ...' kurasa aku juga kak ... Hm, 'Sudah banyak sekali aura yang kutangkap, tapi ini aneh. Apa kamera ini tidak bisa bocor?'… aku tidak mengerti ...." Aku kembali membalik halaman bukunya.

"'Aku simpulkan bahwa ini kamera penangkap 7 dosa pokok. Aura yang tertangkap bisa di pindahkan ke komputer atau drive. Auranya bisa bocor jika kamera itu rusak' ...."

Sreet ...

"Loran, kurasa kita kebih baik mene--" -Kak Nadison menahan kalimatnya sejenak- "jangan baca buku itu!"

Kak Nadison segera berlari ke arahku dan merebut buku sampul hijau itu dari tanganku.

"Anu, kak, m-maaf," ujarku meminta maaf. "Aku tidak sengaja menemukannya tergeletak di lantai."

"Kurasa kau sudah tahu ya?" tanya kak Nadison.

"Ha?"

"Kutanya kau, kau sudah tahu?" kak Nadison menghadap ke arahku.

"Kurasa, iya?" jawabku ragu.

Kak Nadison memegang keningnya. Kepalanya menggeleng-geleng, sembari ia membuang nafas berat. Dia beranjak dari tempatnya, menuju tasnya dan menyimpan buku kecil itu disana. Dia juga mengeluarkan selembar kain dari situ dan menaruhnya di dekat jendela.

"Ayolah, kita lanjutkan menyatukan kameranya," ajak kak Nadison. Dia menyuruhku duduk di sampingnya, diatas kain itu.

Aku menurut. Aku segera duduk di samping kak Nadison dan meneruskan pekerjaanku.

"Sejauh mana yang kau tahu?" tanya kak Nadison. Aku melirik kak Nadison, namun wajahnya tidak menampakkan kemarahan sedikitpun.

"Um, yang aku tahu, kamera kakak bisa menangkap aura 7 dosa pokok, dan kamera itu adalah pemberian kakekmu, Kak." Aku merangkum sedikit inti dari apa yang kubaca barusan.

"Hm, begitu ya ...," ucap kak Nadison. Nada bicaranya terdengar lega dan wajahnya menampakkan bahwa ia menyembunyikan sesuatu. Kurasa ia marah.

Tess ... tess ....

Suara rintik hujan terdengar dari luar jendela. Aku menoleh ke arah jendela.

"Ternyata hujan turun juga," ujar kak Nadison. "Daerah lain hujan juga tidak ya?"

"Mungkin iya kak. Kurasa tidak mungkin hanya dengan aura 7 dosa pokok bisa sampai hujan," ucapku.

Kak Nadison melirikku. "Tahu apa kamu?" ujarnya, bibirnya membentuk sebuah senyuman kecil.

"Ya, awan tadi sore gara-gara rusaknya kamera kakak, kan?" aku membalikkan senyum kak Nadison. Kak Nadison tertawa kecil, kemudian memasukkan tangannya ke wadah kamera lagi. Namun dia masih belum mengeluarkan tangannya maupun bagian selanjutnya. Justru ekspresinya berubah menjadi masam.

"Kenapa kak?"

"Loran."

"Ya?"

"Ada bagian kamera yang hilang." Kak Nadison menatapku. Ekspresinya terlihat ketakutan, dan itu membuatku merasa panik.

Aku segera berdiri. "Apa kita harus mencarinya?"

"Harus!!" seru kak Nadison sembari beranjak dari tempatnya duduk. Dia segera mengambil senter dan pergi ke luar ruang klub.

"Kak Nadison! Tunggu, aku jangan ditinggal!" seruku hendak mencegah kak Nadison. Kak Nadison yang sudah berlari agak jauh berhenti dan menoleh.

"Kita berpencar aja! Aku akan cari di sekitaran depan sekolah!" seru kak Nadison kemudian melanjutkan larinya. Aku berbalik dan menatap sekitaran ruang klub. Aku harus mulai dari mana?

Karena takut menemukan barang pribadi kak Nadison yang lain, aku mencari di sekitaran tempat kamera kak Nadison jatuh. Aku menoleh ke kolong meja kak Nadison. Tidak ada. Aku mencari di kolong mejaku pun tidak ada.

Ugh, dimana bagian kamera itu? Lagipula, bagian mana yang aku cari? Aku kembali ke tempat kak Nadison dan aku duduk, dan mengambil bagian badan kamera yang sedang di perbaiki kak Nadison.

"Lampu flash ...." Tanpa sadar aku bergumam. Aku pun menaruh kembali bagian itu dan kembali mencari.
***
"Loran!!" aku mendengar suara kak Nadison memanggilku. Aku pergi ke dekat jendela. Kulihat kak Nadison melambaikan tangannya dan mengisyaratkanku untuk pergi ke sana. Aku mengangguk padanya dan segera beranjak.

Setelah aku sampai disana, kak Nadison segera menunjukkan sebuah kertas. Aku mengambil kertas itu dan membacanya. "'Siapapun yang menginginkan lampu kecil pada kamera silahkan pergi ke belakang sekolah dekat lapangan tenis.' Kita harus segera kesana dong kak!"

Kak Nadison mengangguk. Kami segera berlari ke belakang sekolah. Di lapangan tenis, aku lihat ada orang yang duduk disana memainkan sesuatu yang kecil, nampak seperti lampu flash.

"Hei," panggil kak Nadison. Orang itu menoleh, kemudian menyeringai.

"Nadison ya? Dan siapa yang ada di sampingmu itu?" tanya orang itu.

Kak Nadison menatapnya tajam. "Haruskah aku menjawabnya, Rage?"

Seringai lelaki yang dipanggil Rage itu makin lebar, membuatku setengah merinding melihatnya.

"Kau mau ini? Serahkanlah bawahanmu padaku," ujar kak Rage, kurasa dia lebih tua 2 tahun dariku. Sekelas kak Nadison mungkin?

"Bawahan? Hah, kau pikir aku tega menperbudak adik kelas sekaligus juniorku di klub fotografi?" ucap kak Nadison tanpa melepas tatapan tajam pada kak Rage. Kak Rage berjalan mendekati kami.

"Kau pilih mana? Lampu ini," -kak Rage menunjukkan lampu kecil itu, "atau adik kelasmu?" lanjutnya sembari menunjuk diriku.

"Atau," jawab kak Nadison dengan datar. Kak Rage tertawa.

"Jangan main-main Nadison, aku serius," ujar kak Rage. "Aku tahu lampu ini sangat penting untuk menyelamatkan sekolahmu."

DEG! Perasaan buruk menyerangku. Dengan kalimat yang angkuh dan gaya berdiri kak Rage, aku merasa ada yang tidak beres. Ku perhatikan kak Rage dari atas ke bawah, kelihatannya tidak begitu berbahaya. Dan kurasa dia juga tidak termasuk geng apapun. Lalu, perasaan buruk apa ini?

"Kau terlalu banyak ngomong. Sebenarnya apa maumu?" seru kak Nadison dengan galak, belum pernah kulihat kak Nadison segalak ini.

"Sudah kubilang aku ingin anak itu," jawab kak Rage dengan santai.

"Anu kak," aku mencoba menyelang pembicaraan mereka, "tolong berikan lampu itu, kami butuh."

"Oh, apa dia punya kamera itu juga? Aku terkejut," ujar kak Rage. Seringai kembali menghiasi wajahnya.

"Dia tidak punya. Nah, karena dia sudah memintanya sendiri, sekarang berikan," ujar kak Nadison. Tangannya hendak mengambil lampu dari tangan kak Rage. Segera kak Rage sembunyikan tangannya yang memegang lampu, membuat kak Nadison semakin geram.

"Tidak semudah itu nona," ujar kak Rage, "kuharap kau lakukan satu lagi permintaanku dulu," lanjutnya.

"Apa lagi, kak? Jangan buang-buang waktu." Aku mulai tidak sabar dengan sifat kak Rage yang menyebalkan. Tidak, semua yang kulihat dari dirinya menyebalkan.

"Baiklah, karena dia sudah memintanya ...," Kak Rage menahan kalimatnya.

"Bagaimana kalau kita melakukan pertandingan kecil?"

"Jadi kau hanya butuh teman bermain, Kak?" tanyaku, menyeringai kepada kak Rage.

"Ah, bukan pertandingan tenis atau lainnya. Aku yakin dengan badan kecilmu itu kau tidak bisa mengalahkanku," ujar kak Rage mengejek.

"Jadi, pertandingan apa?" tanyaku, apapun tantangannya, kurasa aku sudah siap.

"Pertandingan mendapat hati Nadison," ucap kak Rage. Mataku hampir copot mendengarnya. Kulirik kak Nadison, kurasa dia sama terkejutnya denganku.

"Ha?" ucap kak Nadison tanpa mengubah mimik wajahnya. Jika aku ada di posisinya, aku pun akan kaget. Kak Rage kembali menyeringai, kali ini lebih terlihat menyebalkan dari sebelumnya.
Saat keheningan tengah menyelimuti kami, kak Nadison menyambar tanganku dan menarikku. Dekat gudang olahraga, kak Nadison berhenti dan memaku tubuhku di tembok.

"Jangan terima tantangannya," gumam kak Nadison, yang bisa terdengar olehku walaupun sedikit.

"Memang tidak akan, Kak. Lebih baik kita cari cara lain untuk dapatkan lampu itu dari kak Rage," ujarku, mendorong pundak kak Nadison agak menjauh.

"Memangnya apa? Kau mau menyerahkan diri pada Rage?" tanya kak Nadison. Aku menggeleng. Kak Nadison membuat wajah bingung dengan jawabanku.

"Aku punya ide kecil, Kak," ujarku. Aku pun membisikkan ideku ke telinga kak Nadison.

"Kau yakin itu akan berhasil? Rage tidak mudah tertipu loh," ujar kak Nadison. Aku tersenyum lebar.

"Kita tidak akan tahu sebelum mencoba, kan?" Aku mencoba meyakinkan kak Nadison. Dia menatapku kemudian berpikir, entah apa yang ada di benaknya, namun akhirnya dia mengangguk mengiyakan ideku.

Kami kembali ke tempat kak Rage. Kak Rage yang dengan entengnya sedang memainkan lampu pun menatap kami. "Jadi, akan kau terima?"

"Maaf tapi aku tidak setuju, karena Loran adalah saudaraku," ujar kak Nadison.

"Ha?" kak Rage tampak bingung, "Terus kalian barusan ngomongin apa?"

"Kami berdiskusi bagaimana menanggapi tantangan kakak. Lagipula, fakta bahwa aku saudara kak Nadison kan rahasia." Aku menambahkan kak Nadison. Kak Nadison mengangguk.

"Jadi kurasa saatnya mengungkap rahasia." Kak Nadison menghela napas, seakan-akan dia benar-benar berat hati.

"Kalau begitu, apa ada bukti?" tanya kak Rage. Deg! Tidak pernah terbesit di pikiranku bahwa kak Rage akan meminta bukti.

"Ada kok!" seru kak Nadison. Aku berusaha untuk tidak kaget dengan pernyataan kak Nadison. Kak Nadison membuka handphonenya, dan menunjukkan sebuah foto pada kak Rage.
Saat kulihat foto itu, sebuah foto keluarga, dan disana terdapat aku. Aku kembali berusaha menyembunyikan kekagetanku dan berusaha mencari kata yang tepat untuk menguatkan foto itu.

"Oh, itu waktu kita iseng lewat foto studio dan ayah sangat ingin membuat foto keluarga ya?" aku berujar. Kuharap nada bicaraku tidak terdengar ragu-ragu. Aku menatap kak Nadison saat kak Rage sibuk memperhatikan foto itu. Kak Nadison tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya padaku. Aku membalas senyum kak Nadison.

"Sudah percaya? Nah, karena tantangan darimu tidak bisa kami terima, berikan lampunya," kata kak Nadison. Kak Rage menatap kak Nadison dan menyeringai, namun rasanya seringai ini berbeda dengan sebelumnya. Ada sedikit aura 'merasa kalah' dari seringai itu.

"Hm, baiklah ... Ini." Kak Rage merentangkan tangannya ke depan kak Nadison untuk memberikan lampu itu. Kak Nadison menerimanya dengan senyum menghiasi wajahnya. Kami pun segera beranjak kembali kek ruang klub.

Di ruang klub, aku segera mengambil bagian yang kak Nadison perbaiki dan memberikannya. Kak Nadison mengambilnya dan menyambungkan lampu itu ke kameranya. Kemudian aku mengambil bagian lensa yang sudah aku selesaikan. Aku dan kak Nadison pun menyambungkan badan dan lensa kamera itu.

"Yosh, sedikit lagi kita selesai, Loran," kata kak Nadison. Aku mengangguk mengiyakan.

"Tinggal apanya kak?" tanyaku.

"Walaupun kita sudah dapat lampu flashnya, bagiannya belum aku rakit," ujar kak Nadison. Aku mengangguk-angguk.

"Bagian flash kan sedikit kak, gak akan lama kok," kataku. Kak Nadison tersenyum kemudian kembali duduk untuk melanjutkan merakit flash.

"Ngomong-ngomong kak, tadi kan kak Rage bilang 'menyelamatkan sekolah', apa kalau aura 7 dosa bocor bisa membahayakan sekolah?" tanyaku. Kak Nadison berhenti dan melirikku. Dia pun menghela nafas.

"Sepertinya ini saat yang tepat untuk memberitahukan semua. Ya, karena kau juga sudah membantuku, kurasa kau bisa dipercaya," ujar kak Nadison. "Ingat berita koran negara yang memberitakan sekolah yang ditutup karena berbagai kasus?"

Aku mengangguk. Tapi apa hubungannya berita itu dengan 'menyelamatkan sekolah?'

"Nah, di sekolah itu, aura 7 dosa pernah bocor. Aku merasakannya tiap pulang sekolah karena selalu lewat situ. Benar saja, murid membunuh karena iri dan murka, murid yang dibunuh karena kesombongannya, murid bunuh diri karena malas, pelecehan seksual karena hawa nafsu, guru korupsi karena serakah, orang rugi karena ada yang rakus, dan hal lain yang berkaitan dengan itu.

"Bahkan hampir seluruh warga sekolah itu masuk penjara kan? Makanya, untuk mencegah hal yang sama terjadi di sekolah kita, aku menggunakan kamera pemberian kakekku dan mengumpulkan aura dosa besar sebanyak-banyaknya. Awalnya masih sedikit, dan aku melakukannya hanya untuk hobi. Lama-lama aku jadi semakin sering meliput kejadian, dan teman sekelasku menyarankanku masuk klub fotografi." Kak Nadison mengakhiri ceritanya. Dia tersenyum padaku.

"Jadi, maksud kakak kamera ini tidak hanya satu di dunia ini?" tanyaku. Kak Nadison mengangguk.

Sret. Bagian terakhir dari flash itu selesai kak Nadison sambungkan. Dia kemudian menyambungkannya pada badan kamera.

"Akhirnya selesai!" seru kami berdua bersamaan. Kami pun menatap satu sama lain dan tertawa kecil.

"Terimakasih sudah membantuku, Loran. Walaupun kau tidak tahu kebenaran kamera ini sebelumnya, kau tetap membantuku. Terimakasih," ujar kak Nadison.

"Ya, aku juga menikmatinya. Apalagi saat sandiwara untuk mengelak dari tantangan kak Rage," ujarku.

"Sandiwaramu lumayan juga, kau seharusnya masuk klub drama."

"Aku kan sudah masuk klub ini."

Kak Nadison tertawa. Aku jadi teringat satu hal yang ingin aku tanyakan barusan.

"Kak, aku baru ingat. Bagaimana caranya ada foto keluarga kakak yang terdapat diriku?" tanyaku. Kak Nadison menatapku dan tersenyum.

"Aku mencari fotomu saat masih agak kecil dan mengganti wajah adikku dengan wajahmu," kata kak Nadison sembari mengalihkan pandangannya. Aku tertawa.

"Kakak stalker ya? Sampai bisa dapat fotoku begitu. Lagipula bagaimana kakak tahu media sosialku?" ujarku menaik-turunkan alisku.

"Aku tahu ini akan berguna jadi aku cari akunmu di Fesbook," kata kak Nadison tersenyum jahil.
Duar! Suara guntur yang keras sekali terdengar. Kami menutup telinga kami dan melihat keluar jendela. Kak Nadison kaget.

"Ah, kalau sudah seperti badai begini besok akan agak bahaya. Kita harus segera mengumpulkan aura 7 dosa di pagi hari saat murid-murid sudah datang," kata kak Nadison. Aku mengangguk.
Kulihat jam di dinding, jam itu menunjukkan jam setengah 12. Belum pernah aku belum tidur selarut ini.

Kak Nadison merentangkan tangannya. "Akhirnya aku bisa tidur ... Tidurlah, Loran. Tapi kau harus bangun pagi ya," ujar kak Nadison, kemudian berbaring di kain yang barusan ia rentangkan.

"Tunggu kak, aku penasaran akan satu hal. Gimana caranya kita mengumpulkan aura 7 dosa? Harus menunggu kasus dulu?" tanyaku sebelum beranjak ke sisi lain ruangan.

"Kalau aura dosa sudah bocor, kita tinggal foto orangnya, dan aku tahu bagaimana. Tidak perlu satu-satu," jawab kak Nadison. Aku mangut-mangut mencoba mengerti maksud kak Nadison.

"Sudahlah, tidur saja dulu. Besok kau akan mengerti maksudku," ujar kak Nadison, seakan membaca pikiranku. Aku pun mengangguk dan beranjak ke sisi lain ruangan. Ku ambil jaket yang memang sengaja aku bawa, kemudian menjadikannya alas kecil untuk tidur.
***
Aku dan kak Nadison sudah berada di dekat gerbang sekolah. Langit masih juga mendung, karena aura 7 dosa belum dikurung. Begitu murid dan beberapa guru memasuki gerbang sekolah, Kak Nadison segera memotretnya dengan flash. Flash itu sangat terang dan menyilaukan. Kata kak Nadison, semakin terang flashnya, berarti semakin banyak aura dosa disitu. Gara-gara itu, banyak yang menghampiri kami dan misuh-misuh. Kak Nadison hanya nyengir menanggapi omelan orang-orang.

Setelah kami selesai memotret, kami melihat hasil fotonya. Jika di teliti dengan benar, di atas kepala semua orang terdapat sesuatu mirip asap kecil.

"Semakin besar asapnya, semakin besar juga aura dosanya. Kalau asapnya sudah besar bahkan kelihatan walau tidak benar-benar diteliti, berarti auranya juga makin besar," jelas kak Nadison. Aku mengangguk-angguk.

Tiba-tiba bel masuk berbunyi, aku dan kak Nadison saling bertatapan, kemudian tersenyum.

"Sampai ketemu setelah pelajaran selesai, Kak," ucapku.

"Kau juga, Loran," jawab kak Nadison sembari tersenyum. Kami pun kembali ke ruang klub dan mengambil tas, kemudian pergi ke kelas kami masing-masing.

Dan begitu sampai di kelas, aku dikerubungi teman-teman sekelas dan ditanyai soal aku yang menginap di sekolah bersama kak Nadison. Haah, merepotkan...

--- End ---

Jadi, bagaimana menurut kalian? Good, averange, bad? Krisar diterima dengan senang hati, www.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pindah

AKIKO PINDAH LAPAK WWWW Jadi ke wordpress kkkk Linknya disini yak UwU Tapi beberapa rant masih tetep disini, kkkk Kenapa pindah? Ka...