Senin, 22 Januari 2018

Higanbana. Kashuu Kiyomitsu x Reader


Bunga spider lily, higanbana. Entah sejak kapan, aruji suka sekali dengan bunga itu. Kemarin, aruji juga baru saja membeli bibitnya dan menanamnya di pekarangan citadel.

Warna bunga itu merah, semerah bibir aruji. Saat mekar, bunga itu merekah indah.

Sama seperti aruji.

Sampai saat ini aku masih penasaran kenapa aruji menanam bunga itu, apa ada alasan khusus, atau arti khusus? Aku tidak tahu.

"(Y/n)-aruji~" panggilku ketika ia sedang mengurus bunga kesayangannya. Ia menengok padaku dan seperti biasa menampilkan senyuman lembutnya.

"Kau butuh, sesuatu, Kashuu?" tanyanya lembut. Aku menghampirinya dan berjongkok di sampingnya.

"Akhir-akhir ini aruji suka sekali menanam bunga. Kenapa tiba-tiba?" tanyaku, membiarkan rasa penasaran membawaku.

Ia tersenyum. "Bukan apa-apa sih, hanya saja aku suka bunga ini," jawabnya singkat.

Aku tahu, itu bukan jawaban sebenarnya. Aku merasakannya, ia tidak mengutarakan perasaannya sepenuhnya.

"Kalau begitu, Kashuu, kau mau mencoba menanam bunga juga?" tawar aruji.

"Tidak, terimakasih, aruji. Aku tidak suka kotor," tolakku.

"Oh, ayolah. Kotor sedikit tidak akan membuatmu mati," bujuk aruji.

Tanpa sadar, aku mulai membantu aruji mengurusi bunga itu.

***

"Hasebe, apa yang terjadi pada aruji?!"

Aku mengangkat kerah Hasebe, yang menghalangi jalanku menuju ruangan aruji. Aku tahu, ada sesuatu yang tidak beres.

"Sudah kubilang, aruji sedang bekerja!" bentak Hasebe.

"Biasanya juga semua bebas keluar masuk ruangannya meski ia sedang bekerja, mengapa sekarang?!"

Hasebe tidak berkutik dari tempatnya. Ia tetap menghalangi jalanku.

"Minggir Hasebe!"

"Kecilkan suaramu! Aruji sedang bekerja!" bentak Hasebe lagi.

Aku coba banting Hasebe ke lantai. Cukup sulit, namun aku berhasil. Segera kubuka shogi ruangan itu, menampakkan aruji yang tak sadarkan diri diantara dokumen-dokumen yang menjulang tinggi.

"(y/n)?"

Aku menghampirinya dan mengguncang tubuhnya. Seketika ia terbangun.

"Kashuu? Ada apa?" tanyanya, masih dengan nada mengantuk.

"K-kukira kau kenapa-napa …."

Ia terkekeh. "Aku baik-baik saja, Kashuu. Tenanglah."

"Sudah kubilang, aruji sedang bekerja. Pekerjaannya menumpuk akhir-akhir ini, makanya ia butuh konsentrasi penuh," jelas Hasebe. "Ia menyuruhku menjaga pintu ruangannya."

Aku membungkuk, meminta maaf.

"Maaf aruji, aku kira ada yang tidak beres."

"Tidak apa-apa, Kashuu. Angkat kepalamu."

Jemari lentiknya menyentuh pundakku, menyuruhku berdiri dari posisiku. Senyumnya lembut, seakan menganggap kejadian barusan hanya angin lalu.

Aku berlutus dan memegang tangannya. "Biarkan aku menemanimu bekerja, (y/n)."

Dengan itu kukecup punggung tangannya. Ia terkekeh. Rona merah menghiasi pipi putihnya. Rambut panjangnya yang diikat berantakan tidak mengurangi keindahannya.

Higanbana.


***

Aku ingin mengajak aruji jalan-jalan. Aku ingin ia melihat kerja kerasnya pada bunga spider lily itu. Baru kulihat barusan, spider lily itu mekar lagi.

Aku berjalan sembari bersenandung riang. Sesampainya di depan ruangan aruji, shogi ruangan itu terbuka lebar. Aku tidak melihat keberadaan aruji di dalam.

Aku berkeliling sekitar citadel dan tidak juga menemukannya. Aku hampir putus asa.

Aruji.

(y/n).

Dimana kau?

"Kashuu?"

Suara lembut yang aku kenal betul memanggilku. Spontan aku menengok ke sumber suara.

Higanbana.

"(y/n) …."

Wajahnya terlihat pucat. Mulutnya basah.

"Apa yang terjadi padamu, aruji?"

"A-ah … tidak apa-apa. Hanya mual-mual saja," jawabnya.

Higanbana.

"Benarkah?" tanyaku lagi. Ia mengangguk.

"Mungkin hanya masuk angin. Aku baik-baik saja!" ujarnya, memasang senyum terbaiknya.

Higanbana.

"Omong-omong, aruji. Bunga spider lily-mu bermekaran lagi loh. Kau mau melihatnya?" ajakku. Ia mengangguk dan menggandeng tanganku. Kehangatan meliputi seluruh tubuhku.

Aku sadar, hubungan antara pedang dan tuannya itu taboo. Tapi aku tidak bisa melawan perasaanku.

Aku menyukai aruji.

Kami berjalan ke taman dimana aruji menanam spider lily-nya. Warna merah menyebar dimana-mana. Terlihat indah.

Higanbana.

"Kashuu! Lihat! Bahkan lebah pun menyukai bungaku!" serunya, menunjuk ke bunga yang dihinggapi lebah.

"Penyerbukan ya …," gumamnya.

Aku ikut tersenyum melihat senyumannya. Sosoknya bertambah cantik hanya dengan berdiri di taman ini.

Higanbana.

Aku berlutut di hadapannya, membuatnya keheranan. Aku mendongak, menatap wajahnya.

"Kashuu? Ada apa?" tanyanya heran.

"Tu-- tidak. (Y/n). Menjadi pedangmu adalah sebuah kehormatan. Bertemu denganmu adalah karunia terhebat yang diberikan padaku."

"Kashuu?"

"Aku tahu seharusnya ini tidak diperbolehkan. Tapi izinkan saja aku mengutarakan isi hatiku. (y/n), aku mencintaimu. Mencintaimu sebagai tuanku, mencitaimu sebagai seseorang yang spesial dalam hidupku."

Semburat merah seketika menghiasi wajahnya.

"K-kashuu …."

"(y/n) … terimakasih telah datang ke hidupku. Aku ingin kau menjadi pendamping hidupku," ucapku, mengakhiri pengakuanku.

Aku terus menatapnya yang kebingungan. Sejujurnya, aku takut membayangkan reaksinya. Aku takut hubunganku hancur gara-gara pengakuanku.

Tapi jika kusimpan, perasaan ini akan semakin meluap.

"Maaf, Kashuu. A-aku … tidak bisa," ucapnya kemudian. "M-maaf …."

Aku menunduk lalu berdiri.

"Tidak apa-apa, aruji. Aku … aku tidak memaksamu."

Meski aku berkata begitu, sebenarnya aku ingin sekali menjadikannya milikku.

Higanbana.

"Aku sungguh-sungguh minta maaf, Kashuu." Ia memegang tanganku yang bergetar.

"Kashuu, kau benar-benar tidak apa-apa kan?" tanyanya. Aku mengangguk pelan.

"Aku hanya ingin kau bahagia, tuan. Meski kuakui, itu sakit."

Ia mengelus pipiku pelan lalu mengecupnya.

Kenapa kau lakukan itu tuan?

Higanbana.

"Maaf ya."

***

Sudah satu minggu sejak (y/n) menolakku. Aku ingin menjaga jarak darinya untuk beberapa waktu, menjernihkan pikiranku dan mencoba melupakan perasaanku.

Tapi aku tidak bisa tidak khawatir. Kuputuskan untuk mengunjungi ruangan aruji.

Aku mengetuk pelan shogi ruangan itu. Tidak ada jawaban. Kuketuk lagi, masih tidak ada jawaban.

Kubuka shogi itu. Kulihat aruji berbaring di futonnya, terlihat sangat tenang. Aku mendekatinya, ingin kucium keningnya, sungguh.

"Ah!" Aku mengaduh begitu tanganku kontak dengan kening aruji. "Panas sekali!"

Aku berlari keluar, ke ruangan Awataguchi.

Aku butuh Yagen.

Karena tidak melihat jalan, aku bertabrakan dengan Hasebe.

"Jangan lari-lari di koridor, Kashuu!" bentak Hasebe. Aku mengangkat kerahnya.

"Apa yang terjadi pada aruji?!"

Hasebe mengalihkan pandangannya, membuang mukanya. Ia tak kunjung menjawab pertanyaanku.

"Jawab Hasebe!"

"Dia terkena sakit malaria."

Aku termangu. "Sejak kapan?"

"Aku juga tidak tahu. Hari ini dokter kiriman pemerintah baru akan datang, kita baru akan mengetahuinya hari ini," ujar Hasebe.

Waktu itu dia mual, muntah-muntah, di hari dimana aku menyatakan perasaanku.

Seharusnya aku tidak percaya saat ia mengatakan ia baik-baik saja.

Harusnya aku meyakinkannya untuk menemui dokter hari itu.

Seharusnya aku lebih memerhatikannya.

Higanbana.

***

Aku dan Hasebe menunggu di luar ruangan aruji. Aku tidak bisa tenang. Malaria? Yang benar saja.

Dia bisa mati.

Higanbana.

Dokter keluar dari ruangannya dan menghampiri kami. Jantung ku berdegup kencang, keringat dingin mengalir membasahi wajah dan leherku.

Higanbana.

"Maafkan saya, tapi gejalanya sudah sampai ke titik dimana saya maupun siapapun tidak bisa mengobatinya. Saya permisi," jelas sang dokter.

Dia akan mati.

Higanbana.

Aku memasuki ruangannya. Ia masih terbaring lemah, namun ia dalam keadaan sadar sekarang ini.

"Kashuu …," panggilnya lirih. Aku mendekatinya dan memegang tangannya, tidak peduli dengan panas dari tubuhnya.

"Kumohon, aruji, bertahanlah," pintaku. Ia tersenyum pilu.

"Maafkan aku, Kashuu."

"Apa kau sudah mengetahui penyakitmu sebelum ini?" tanyaku. Ia mengangguk. "Kenapa kau tidak beritahu aku? Atau Hasebe, Yagen, dan yang lain? Kenapa kau tetap diam meski kau sudah tahu?"

Aku mengeratkan peganganku pada tangannya.

"Jika kau katakan lebih awal, mungkin kau tidak akan jadi seperti ini."

"Aku hanya, tidak ingin kalian khawatir," ujarnya. "Aku hanya ingin kalian fokus melindungi sejarah, bukan mengkhawatirkanku,” lanjutnya.

“Tapi kami pedangmu, aku pedangmu, aruji,” kataku.

“Maaf, Kashu ....”

Genggamannya pada tanganku melonggar.

Higanbana.

Ia sudah tiada.

***

Citadel terasa sepi dan suram. Baru saja kemarin, aruji di makamkan.  Entah apa yang membuat kakiku menuntunku kembali ke makamnya, meski baru kemarin aku kesini.

Kupegang sekuntum bunga spider lily di tanganku, berdiri mematung di depan makamnya.

“Aruji ...,” panggilku, meski aku tahu ia tidak akan menyahut lagi.

Kusimpan bunga itu diatas batu nisannya. “Apa ini maksudmu menanam bunga ini?” tanyaku, meski aku sadar tidak akan ada jawaban dari mulutnya lagi.

“Maaf, aku tidak bisa memahamimu,” ujarku, meski aku yakin dia tidak bisa mendengarku.

Seketika kurasakan tangan hangat menyelimutiku. Kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhku, melewati rusuk tulang belakangku.

“... Arigatou.”

Higanbana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pindah

AKIKO PINDAH LAPAK WWWW Jadi ke wordpress kkkk Linknya disini yak UwU Tapi beberapa rant masih tetep disini, kkkk Kenapa pindah? Ka...